Minggu, 06 Juli 2014

"Kangen Kampung Halaman"


Aku menyelesaikan membaca dua serial anak mamak Tere Liye, “Eliana” dan “Pukat” 



Membaca dua buku ini membuat aku semakin rindu kampung halaman saja. Bagaimana tidak, detil latar tempat yang dituliskan di buku ini ternyata memiliki langit dan bumi yang sama dengan tempat di mana aku lahir dan dibesarkan. Dari potongan2 tempat yang disebutkan, aku mengira tempat itu berada bersebelahan kabupaten dengan kabupaten rumahku. “Lahat”, sebagai kabupaten tebakanku atas latar tempat yang diceritakan di buku ini. Tempatnya sama seperti yang diceritakan dalam buku, memiliki hutan rimba yang luas, dengan konstur tanah yang tinggi dan bergunung, dilengkapi dengan sungai berkelok dan air terjun, serta terowongan kereta yang termasuk terpanjang di pulau Sumatera. Ini jelas Kab. Lahat yang bersebelahan dengan Kab. Muara Enim.
Banyak hal sama antara yang diceritakan di buku dengan kehidupan masa kecilku. Ini membuat rinduku akan kampung halaman semakin membuncah. Apalagi kala sedang membaca tentang mamak yang mengomeli ke empat anaknya, itu mengingatkanku pada ibukku yang juga sering mengomeli aku dan adikku. Aku sering tersenyum sendiri kala menghabiskan kisah demi kisah dalam buku ini, mengingat kemudian manggut-manggut tanda faham akan keadaan sebenarnya penduduk di sana. Berhubung orang tuaku bukan penduduk pribumi asli, hanya penduduk pendatang dari tempat yang kini sebagai tempat aku menuntut ilmu, tentu juga terdapat perbedaan antara gaya hidupku bersama orang tuaku dengan kehidupan yang diceritakan dalam dua buku ini.

#kilas balik kehidupan masa kecilku,,             
-   Berawal dari kisah mamak dalam buku ini yang sangat disiplin mengatur setiap aktivitas anak2nya, sering mengomel setiap ada kesalahan dan pelanggaran, selalu memastikan anaknya dalam keadaan sehat dan baik2 saja begitu juga dengan ibukku. Setiap hari aku tak pernah absen dari omelan ibuk, selalu ada saja yang salah, diatur ini lah, disuruh itu lah, jangan pake inilah, harus begitu lah, semuanya di bawah pengawasan ibuk. Tapi aku tau itu semua ibuk lakukan untuk kebaikanku, buktinya ibuk tetap peduli kala aku jatuh sakit tak berdaya, ibuk merawat dan mengurusku sepenuh hati sampai aku kembali bugar, memastikan aku sudah baik2 saja.
-   Sama seperti dalam buku, tentang desa yang belum berlistrik, begitupun desaku saat aku masih kecil. Bedanya kalau dibuku, penerangan memakai “lampu canting”, di rumahku memakai penerangan yang disebut “damar”, bapakku membuatnya dari kaleng bekas sprite yang diberi tutup botol kecap dan sumbu diatasnya untuk menyalakan api, diletakkan di setiap ruangan menemani aktivitas malamku, ya mengaji, ya belajar, ya makan malam begitupun juga tidur.
-   Kalau di buku disebutkan mandi di “kali” sama dengan masa kecilku yng juga mandi dikali, bedanya kalau yang dimaksud dalam buku adalah sungai yang airnya jernih dan mengalir deras diantara bebatuan, di desaku adalah sumur lebar yang tempatnya ada di kebun2 yang rendah atau lembah, biasanya 1 km di belakang rumah penduduk. Lebih mirip seperti kolam tapi lebih kecil.
-   Di buku diceritakan tentang “pasar kalangan”, pasar yang dibuka selama 4 jam di lapangan luas desa dengan lapak berupa tikar sebagai alat dan terpal sebagai atap. Sembarang menghamparkan jualan dan membereskannya kembali ketika jam pasar kalangan berakhir. Dan itu hanya ada satu kali dalam seminggu. Juga mengingatkanku pada pasar kalangan setiap senin desaku, biasanya aku akan kesana walaupun hanya sekedar memuaskan keinginan makan makanan daerah, yang disebut Pempek.
-   Tentang masakan yang sering dihidangkan oleh mamak dalam cerita buku ini, juga membuatku semakin teringat dengan masakan ibukku. “Rendang lezaaat, pindang ikan, dan sayur rebung yang amat harum baunya”. Rasanya aku semakin ingin cepat pulang memanjakan lidah lagi dengan masakan2 lezat ibuk. Sudah tak sabar menunggu kapan perjalanan pulangku akan aku mulai.
-   Tentang “bulu landak” sebagai penunjuk huruf kala mengaji, aku dan teman sepermainanku juga pernah punya itu, biasanya itu kami dapat dari anak2 penduduk pribumi yang notabennya rumah mereka lebih dekat dengan hutan. Bedanya kalau dalam buku ini anak2 yang mengaji selalu takut dengan tongkat rotan yang dipegang oleh guru ngajinya, aku juga selalu takut dengan bentakan bapakku saat aku salah mengeja huruf dan “sentolop” di depanku yang siap melayang ke kepalaku kapanpun. Tapi bapakku tak pernah melakukannya. Kebanyakan orang menyebut sentolop sebagai “senter” atau “batere”.
-   Kemudian mengenai “kebun karet” yang pohonnya disadap oleh orang2 kampung untuk diambil getahnya, itu jelas sama dengan desaku. Menyadap pohon karet adalah mata pencaharian utama penduduk desa. Getah yang telah disadap dikumpulkan untuk kemudian dijual setiap sebulan sekali ketika para tengkulak datang membawa truk dan timbangan. Bedanya kalau dalam buku ini jual beli getah karet berlangsung seketika tengkulak itu datang, beda halnya dengan desaku, jual beli getah karet dibantu oleh  koperasi, lebih maju bukan? Biasanya hasil penjualan dicatat oleh petugas, beberapa hari kemudian baru uang hasil penjualan dikirim oleh tengkulak pada petugas koperasi dan para penduduk mengambilnya.
-   Lantas tentang hutan yang dibuka untuk ladang, begitu pula ditempatku, masih banyak sekali pembakaran hutan, namun aslinya pembakaran kebun lama yang sudah mirip dengan hutan, penuh belukar dan semak2 untuk dijadikan kebun baru. Ditanami bibit baru dan dijaga dengan ketat dari serangan binatang2 hutan.
-   Begitu juga dengan keseharian anak2 yang diceritakan dalam buku, pergi sekolah, membantu orang tua, pergi bermain, mengerjakan PR, kena marah mamaknya, bergurau dengan bapaknya, dinasehati uwak atau kakek neneknya. Semuanya hampir sama dengan kehidupan masa kecilku dan teman sepermainanku. Tetapi bedanya rumah dimana aku melakukan segala aktivitas bukan rumah panggung seperti dalam cerita, tetapi nempel tanah seperti sewajarnya. Ya itu memang karena orang tuaku bukan penduduk asli pribumi, maka rumahnyapun biasa saja, tidak memakai model rumah penduduk setempat.






Masih banyak lagi hal2 sama yang tidak bisa aku jelaskan secara detail setelah membaca 2 buku ini, yang jelas buku ini benar2 mengingatkan aku akan desa nun jauh di sana sebagai kampung halamanku, tempat lahirku, tempat aku di didik dan dibesarkan, tempat dimana banyak pengajaran hidup diajarkan, kebaikan ditanamkan dan masih banyak hal istimewa lainnya tentang desaku. Keadaan desa yang semakin kesini semakin maju, semakin berubah mengikuti perubahan zaman, pembangunan2 fasilitas yang lebih sering, rumah2 penduduk yang berubah semakin indah, kehidupan penduduk yang semakin makmur, itu semua tak lepas dari keuletan, dan kesabaran penduduk menjalani hari demi hari dikampung kami, melakukan banyak hal yang tetap berpegang pada hal2 yang baik. Itu semua sungguh hal yang luar biasa. Aku merasa beruntung bisa hidup dari yang dulunya desaku bukan apa2 sekarang berubah menjadi apa2, meski samapi sekarang menuju rumahku masih harus melewati beribu2 kilo kebun yang seperti hutan tapi keadaannya sudah jauh berbeda dari zaman dulu, jalannya tak lagi tanah melainkan aspal halus yang membuat melewatinya tak lagi terasa lama tetapi hanya puluhan menit. Membuat aku semakin bangga dan rindu akan kampung halamanku, akan tanah kelahiranku, akan desa permaiku, dan akan kisah masa kecilku. (berharap lekas bisa pulang dalam pejamku dan semoga bisa membaca 2 serial anak mamak yang lain, “Burlin” dan “Amelia”).

Faridda Munfaridda
Semarang, 06 juli 2014

0 komentar:

Posting Komentar