Aku menyelesaikan membaca dua serial anak mamak Tere Liye, “Eliana”
dan “Pukat”
Membaca dua buku ini membuat aku semakin rindu kampung halaman
saja. Bagaimana tidak, detil latar tempat yang dituliskan di buku ini ternyata
memiliki langit dan bumi yang sama dengan tempat di mana aku lahir dan
dibesarkan. Dari potongan2 tempat yang disebutkan, aku mengira tempat itu
berada bersebelahan kabupaten dengan kabupaten rumahku. “Lahat”, sebagai
kabupaten tebakanku atas latar tempat yang diceritakan di buku ini. Tempatnya sama
seperti yang diceritakan dalam buku, memiliki hutan rimba yang luas, dengan
konstur tanah yang tinggi dan bergunung, dilengkapi dengan sungai berkelok dan
air terjun, serta terowongan kereta yang termasuk terpanjang di pulau Sumatera.
Ini jelas Kab. Lahat yang bersebelahan dengan Kab. Muara Enim.
Banyak hal sama antara yang diceritakan di buku dengan kehidupan masa
kecilku. Ini membuat rinduku akan kampung halaman semakin membuncah. Apalagi kala
sedang membaca tentang mamak yang mengomeli ke empat anaknya, itu
mengingatkanku pada ibukku yang juga sering mengomeli aku dan adikku. Aku sering
tersenyum sendiri kala menghabiskan kisah demi kisah dalam buku ini, mengingat
kemudian manggut-manggut tanda faham akan keadaan sebenarnya penduduk di sana. Berhubung
orang tuaku bukan penduduk pribumi asli, hanya penduduk pendatang dari tempat
yang kini sebagai tempat aku menuntut ilmu, tentu juga terdapat perbedaan
antara gaya hidupku bersama orang tuaku dengan kehidupan yang diceritakan dalam
dua buku ini.
#kilas balik kehidupan masa kecilku,,
-
Berawal dari kisah mamak
dalam buku ini yang sangat disiplin mengatur setiap aktivitas anak2nya, sering
mengomel setiap ada kesalahan dan pelanggaran, selalu memastikan anaknya dalam
keadaan sehat dan baik2 saja begitu juga dengan ibukku. Setiap hari aku tak
pernah absen dari omelan ibuk, selalu ada saja yang salah, diatur ini lah,
disuruh itu lah, jangan pake inilah, harus begitu lah, semuanya di bawah
pengawasan ibuk. Tapi aku tau itu semua ibuk lakukan untuk kebaikanku, buktinya
ibuk tetap peduli kala aku jatuh sakit tak berdaya, ibuk merawat dan mengurusku
sepenuh hati sampai aku kembali bugar, memastikan aku sudah baik2 saja.
-
Sama seperti dalam buku,
tentang desa yang belum berlistrik, begitupun desaku saat aku masih kecil. Bedanya
kalau dibuku, penerangan memakai “lampu canting”, di rumahku memakai penerangan
yang disebut “damar”, bapakku membuatnya dari kaleng bekas sprite yang diberi
tutup botol kecap dan sumbu diatasnya untuk menyalakan api, diletakkan di setiap
ruangan menemani aktivitas malamku, ya mengaji, ya belajar, ya makan malam
begitupun juga tidur.
-
Kalau di buku disebutkan
mandi di “kali” sama dengan masa kecilku yng juga mandi dikali, bedanya kalau
yang dimaksud dalam buku adalah sungai yang airnya jernih dan mengalir deras
diantara bebatuan, di desaku adalah sumur lebar yang tempatnya ada di kebun2
yang rendah atau lembah, biasanya 1 km di belakang rumah penduduk. Lebih mirip
seperti kolam tapi lebih kecil.
-
Di buku diceritakan
tentang “pasar kalangan”, pasar yang dibuka selama 4 jam di lapangan luas desa
dengan lapak berupa tikar sebagai alat dan terpal sebagai atap. Sembarang menghamparkan
jualan dan membereskannya kembali ketika jam pasar kalangan berakhir. Dan itu
hanya ada satu kali dalam seminggu. Juga mengingatkanku pada pasar kalangan
setiap senin desaku, biasanya aku akan kesana walaupun hanya sekedar memuaskan
keinginan makan makanan daerah, yang disebut Pempek.
-
Tentang masakan yang sering
dihidangkan oleh mamak dalam cerita buku ini, juga membuatku semakin teringat
dengan masakan ibukku. “Rendang lezaaat, pindang ikan, dan sayur rebung yang
amat harum baunya”. Rasanya aku semakin ingin cepat pulang memanjakan lidah
lagi dengan masakan2 lezat ibuk. Sudah tak sabar menunggu kapan perjalanan
pulangku akan aku mulai.
-
Tentang “bulu landak”
sebagai penunjuk huruf kala mengaji, aku dan teman sepermainanku juga pernah
punya itu, biasanya itu kami dapat dari anak2 penduduk pribumi yang notabennya
rumah mereka lebih dekat dengan hutan. Bedanya kalau dalam buku ini anak2 yang
mengaji selalu takut dengan tongkat rotan yang dipegang oleh guru ngajinya, aku
juga selalu takut dengan bentakan bapakku saat aku salah mengeja huruf dan “sentolop”
di depanku yang siap melayang ke kepalaku kapanpun. Tapi bapakku tak pernah
melakukannya. Kebanyakan orang menyebut sentolop sebagai “senter” atau “batere”.
-
Kemudian mengenai “kebun
karet” yang pohonnya disadap oleh orang2 kampung untuk diambil getahnya, itu
jelas sama dengan desaku. Menyadap pohon karet adalah mata pencaharian utama
penduduk desa. Getah yang telah disadap dikumpulkan untuk kemudian dijual setiap
sebulan sekali ketika para tengkulak datang membawa truk dan timbangan. Bedanya
kalau dalam buku ini jual beli getah karet berlangsung seketika tengkulak itu
datang, beda halnya dengan desaku, jual beli getah karet dibantu oleh koperasi, lebih maju bukan? Biasanya hasil
penjualan dicatat oleh petugas, beberapa hari kemudian baru uang hasil
penjualan dikirim oleh tengkulak pada petugas koperasi dan para penduduk
mengambilnya.
-
Lantas tentang hutan
yang dibuka untuk ladang, begitu pula ditempatku, masih banyak sekali
pembakaran hutan, namun aslinya pembakaran kebun lama yang sudah mirip dengan
hutan, penuh belukar dan semak2 untuk dijadikan kebun baru. Ditanami bibit baru
dan dijaga dengan ketat dari serangan binatang2 hutan.
-
Begitu juga dengan
keseharian anak2 yang diceritakan dalam buku, pergi sekolah, membantu orang
tua, pergi bermain, mengerjakan PR, kena marah mamaknya, bergurau dengan
bapaknya, dinasehati uwak atau kakek neneknya. Semuanya hampir sama dengan
kehidupan masa kecilku dan teman sepermainanku. Tetapi bedanya rumah dimana aku
melakukan segala aktivitas bukan rumah panggung seperti dalam cerita, tetapi
nempel tanah seperti sewajarnya. Ya itu memang karena orang tuaku bukan
penduduk asli pribumi, maka rumahnyapun biasa saja, tidak memakai model rumah
penduduk setempat.
Masih banyak lagi hal2 sama yang tidak bisa aku jelaskan secara
detail setelah membaca 2 buku ini, yang jelas buku ini benar2 mengingatkan aku akan
desa nun jauh di sana sebagai kampung halamanku, tempat lahirku, tempat aku di
didik dan dibesarkan, tempat dimana banyak pengajaran hidup diajarkan, kebaikan
ditanamkan dan masih banyak hal istimewa lainnya tentang desaku. Keadaan desa
yang semakin kesini semakin maju, semakin berubah mengikuti perubahan zaman,
pembangunan2 fasilitas yang lebih sering, rumah2 penduduk yang berubah semakin
indah, kehidupan penduduk yang semakin makmur, itu semua tak lepas dari
keuletan, dan kesabaran penduduk menjalani hari demi hari dikampung kami,
melakukan banyak hal yang tetap berpegang pada hal2 yang baik. Itu semua
sungguh hal yang luar biasa. Aku merasa beruntung bisa hidup dari yang dulunya
desaku bukan apa2 sekarang berubah menjadi apa2, meski samapi sekarang menuju
rumahku masih harus melewati beribu2 kilo kebun yang seperti hutan tapi
keadaannya sudah jauh berbeda dari zaman dulu, jalannya tak lagi tanah
melainkan aspal halus yang membuat melewatinya tak lagi terasa lama tetapi hanya
puluhan menit. Membuat aku semakin bangga dan rindu akan kampung halamanku,
akan tanah kelahiranku, akan desa permaiku, dan akan kisah masa kecilku. (berharap
lekas bisa pulang dalam pejamku dan semoga bisa membaca 2 serial anak mamak
yang lain, “Burlin” dan “Amelia”).
Faridda Munfaridda
Semarang, 06 juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar