Tangisan di depan Perapian
Tentang seorang
yang kembali mencuri perhatianku malam ini. Aku kembali terpaku di depan rumah
mewah seberang jalan. Dari balik kaca besar rumah itu, kuperhatikan gerak gerik
seorang wanita dengan rona kesedihan di wajahnya. Selalu seperti itu, menatap
kosong pada perapian, membiarkan bunyi api yang menyulut kayu bakar semakin
menelisik telinga. Mataku benar-benar tak berpaling sedikitpun darinya. ‘Dia
tengah merindu dan akan slalu merindu’. Ujar wanita lain rumah itu yang tanpa
sengaja melihatku terpaku. Lantas sebegitu
dalamkah rindu yang ia rasakan hingga ia hanya
terus diam sepanjang kayu-kayu perapian itu terbakar ?
Menit ke 10 aku
berdiri, ia nampak semakin tenggelam dengan perasaannya. Bulir-bulir bening perlahan-lahan
mulai menggelinding di pipinya. Pertanda rindunya semakin menyayat hati.
Sekali lagi aku
hanya bisa menarik napas panjang untuk menyaksikan rona wajah itu. Sekeras apapun
aku berfikir, tak bisa aku bayangkan seperti apa rindu itu. Rindu yang aku tak
tau pada sesiapa. Rindu yang menurut jalan fikirku pastilah amat sakit rasanya.
Tepat pada menit
ke 20 aku memutuskan untuk mengakhiri menyaksikan pemandangan memilukan ini,
aku tak kuasa jika harus terus menatap pipinya yang semakin basah.
Tuhan, ku mohon
izinkan dia bersua dengan apa yang selalu membuatnya merindu, izinkan dia untuk
sekali saja melewati malam tanpa menangis di depan perapian .
Bumi Lunpia, 09 november 2014
*faridda munfaridda
0 komentar:
Posting Komentar