Sabtu, 08 November 2014

Tentang Menulis


Tangisan di depan Perapian

Tentang seorang yang kembali mencuri perhatianku malam ini. Aku kembali terpaku di depan rumah mewah seberang jalan. Dari balik kaca besar rumah itu, kuperhatikan gerak gerik seorang wanita dengan rona kesedihan di wajahnya. Selalu seperti itu, menatap kosong pada perapian, membiarkan bunyi api yang menyulut kayu bakar semakin menelisik telinga. Mataku benar-benar tak berpaling sedikitpun darinya. ‘Dia tengah merindu dan akan slalu merindu’. Ujar wanita lain rumah itu yang tanpa sengaja melihatku terpaku.  Lantas sebegitu dalamkah rindu yang ia rasakan hingga ia hanya terus diam sepanjang kayu-kayu perapian itu terbakar ?

Menit ke 10 aku berdiri, ia nampak semakin tenggelam dengan perasaannya. Bulir-bulir bening perlahan-lahan mulai menggelinding di pipinya. Pertanda rindunya semakin menyayat hati.
  
Sekali lagi aku hanya bisa menarik napas panjang untuk menyaksikan rona wajah itu. Sekeras apapun aku berfikir, tak bisa aku bayangkan seperti apa rindu itu. Rindu yang aku tak tau pada sesiapa. Rindu yang menurut jalan fikirku pastilah amat sakit rasanya.

Tepat pada menit ke 20 aku memutuskan untuk mengakhiri menyaksikan pemandangan memilukan ini, aku tak kuasa jika harus terus menatap pipinya yang semakin basah. 

Tuhan, ku mohon izinkan dia bersua dengan apa yang selalu membuatnya merindu, izinkan dia untuk sekali saja melewati malam tanpa menangis di depan perapian .


Bumi Lunpia, 09 november 2014
*faridda munfaridda


0 komentar:

Posting Komentar