Si Anak Sandal yang Handal
Kudus, Kamis
Kliwon 20 Maret 1980, lahirlah seorang bayi laki-laki dari keluarga sederhana
yang dikaruniai nama Muhammad Rikza Chamami. Bermula dari desa Krandon, Kudus,
ia mulai mengukir cerita hidupnya. Memiliki orang tua yang berprofesi sebagai
pembuat sandal tak lantas membuat rikza putus asa. Ia justru tumbuh menjadi
anak laki-laki yang mandiri, rajin, terampil, dan ulet. Keadaan keluarganya
yang pas-pasan menjadikan rikza sudah terbiasa bekerja sejak belia, bahkan ia
sudah mampu membayar biaya sekolahnya sendiri kala itu.
Dunia
pendidikan Rikza dimulai dari TK Nawa Kartika Kudus, ia menghabiskan waktu dua
tahun untuk kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya. SD Nawa Kartika yang
kemudian menjadi pilihan orang tua Rikza untuk menjadi tempat ia mengukir
sejarah kanak-kanaknya. Hal yang membuat Rikza terus mengingat masa sekolah
dasarnya adalah perjuangan ayahnya mengantarkan ke sekolah dengan ‘sepeda
jengki’ sebelum bekerja. Tumbuh dengan perawakan kecil menjadikan anak
laki-laki dari pasangan Chamami Tolchah dan Masfiyah Masruhan ini mempunyai
julukan unik pada saat kecil. Teman-temannya selalu memanggilnya dengan sebutan
“Bonsai”.
Setelah lulus
dari pendidikan dasar, Rikza kemudian berniat melanjutkan pendidikan di MTs
(Madrasah Tsanawiyah) Qudsiyyah Kudus. Namun karena terdapat mata pelajaran
prasyarat yang belum terpenuhi maka ia tidak lulus seleksi dan harus mengulang
dari kelas 5 MI (Madrasah Ibtidaiyyah) Qudsiyyah Kudus. Baru setelah lulus dari
MI ia dapat melanjutkan ke MTs Qudsiyyah Kudus. Tiga tahun kemudian Rikza
melanjutkan ke jenjang lebih tinggi yang juga masih satu almamater, yakni MA
Qudsiyyah Kudus.
Tidak berhenti
sampai disini, karena keuletan yang dimilikinya, Rikza diizinkan untuk
melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi oleh ayahnya. IAIN Walisongo
Semarang sebagai tempat menempuh program S1-nya dengan jurusan Kependidikan
Islam (KI) dengan program minor Pendidikan Bahasa Arab. Tiga setengah tahun
menjalani perkuliahan dengan IPK 3,72 dan Skripsi berjudul “Konsep Pendidikan
Neomodernisme Fazlur Rahman dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam” menjadikan
Rikza lulus sebagai wisudawan terbaik jurusan KI pada tahun 2004. Pendidikannya
kemudian berlanjut pada Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo. Studi Pendidikan
Islam menjadi program yang dipilih untuk menempuh S2-nya, dan lagi-lagi
mendapat predikat camlaude serta menjadi mahasiswa terbaik dengan kurun
waktu perkuliahan hanya satu setengah tahun. Saat ini Rikza sedang menempuh
S3-nya di Program Doktor UIN Walisongo semarang dengan konsentrasi Islamic
Studies.
Sejak memasuki
bangku pendidikan Rikza sudah aktif dalam dunia organisasi, seperti OSIS,
BANTARA, Kader Disipliner Nasional Kodim, PKS Bhayangkara Polres Kudus, Forum
Komuniasi Antar Pelajar (FKAP), LPM Edukasi Fakultas Tarbiyah, SKM Amanat
Walisongo, PMII dan masih banyak lagi. Selain itu ia juga aktif menulis.
Berbagai tulisannya sudah sering dimuat oleh berbagai media cetak misalnya
Harian Suara Merdeka, Harian Solo Pos, Radar Kudus, Radar Semarang, Majalah
al-Mihrab dan lain-lain. Sampai saat ini Rikza masih aktif dalam dunia tulis
menulis meskipun ia telah berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Walisongo Semarang. Bahkan beberapa karya yang kini sudah dapat
dinikmati oleh berbagai kalangan antara lain: Pendidikan Sufistik (Disertasi
Program S2-nya), Kyai Tanpa Pesantren, Studi Ulama Kabupaten Kudus (2011),
Studi Minat Madrasah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Kalimantan Barat
(pembahas, 2012) dan masih banyak yang lainnya.
Tepat pada
hari minggu, 12 September 2004, Rikza mempersunting wanita cantik yang tak lain
adalah teman kuliahnya, Yolha Ulfana adalah wanita yang kini menjadi ibu dari
kedua putranya, yaitu Iqlima Naqiyya dan M. Ijlal Azamy. Hidup dengan lika-liku
hingga Rikza dapat menjalani hidup yang seperti saat ini adalah buah dari
kesabaran dan keuletan yang telah dimilikinya sejak kecil. Bahkan ia selalu
memegang teguh prinsip hidupnya, yakni “bahwa orang hidup itu yang penting
harus mengalir, apa yang dimiliki dijalani, hidup apa adanya dan tanpa
pamrih”.