Kamis, 08 Januari 2015

BIOGRAFI DOSEN

Si Anak Sandal yang Handal

Kudus, Kamis Kliwon 20 Maret 1980, lahirlah seorang bayi laki-laki dari keluarga sederhana yang dikaruniai nama Muhammad Rikza Chamami. Bermula dari desa Krandon, Kudus, ia mulai mengukir cerita hidupnya. Memiliki orang tua yang berprofesi sebagai pembuat sandal tak lantas membuat rikza putus asa. Ia justru tumbuh menjadi anak laki-laki yang mandiri, rajin, terampil, dan ulet. Keadaan keluarganya yang pas-pasan menjadikan rikza sudah terbiasa bekerja sejak belia, bahkan ia sudah mampu membayar biaya sekolahnya sendiri kala itu.
Dunia pendidikan Rikza dimulai dari TK Nawa Kartika Kudus, ia menghabiskan waktu dua tahun untuk kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya. SD Nawa Kartika yang kemudian menjadi pilihan orang tua Rikza untuk menjadi tempat ia mengukir sejarah kanak-kanaknya. Hal yang membuat Rikza terus mengingat masa sekolah dasarnya adalah perjuangan ayahnya mengantarkan ke sekolah dengan ‘sepeda jengki’ sebelum bekerja. Tumbuh dengan perawakan kecil menjadikan anak laki-laki dari pasangan Chamami Tolchah dan Masfiyah Masruhan ini mempunyai julukan unik pada saat kecil. Teman-temannya selalu memanggilnya dengan sebutan “Bonsai”.
Setelah lulus dari pendidikan dasar, Rikza kemudian berniat melanjutkan pendidikan di MTs (Madrasah Tsanawiyah) Qudsiyyah Kudus. Namun karena terdapat mata pelajaran prasyarat yang belum terpenuhi maka ia tidak lulus seleksi dan harus mengulang dari kelas 5 MI (Madrasah Ibtidaiyyah) Qudsiyyah Kudus. Baru setelah lulus dari MI ia dapat melanjutkan ke MTs Qudsiyyah Kudus. Tiga tahun kemudian Rikza melanjutkan ke jenjang lebih tinggi yang juga masih satu almamater, yakni MA Qudsiyyah Kudus.
Tidak berhenti sampai disini, karena keuletan yang dimilikinya, Rikza diizinkan untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi oleh ayahnya. IAIN Walisongo Semarang sebagai tempat menempuh program S1-nya dengan jurusan Kependidikan Islam (KI) dengan program minor Pendidikan Bahasa Arab. Tiga setengah tahun menjalani perkuliahan dengan IPK 3,72 dan Skripsi berjudul “Konsep Pendidikan Neomodernisme Fazlur Rahman dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam” menjadikan Rikza lulus sebagai wisudawan terbaik jurusan KI pada tahun 2004. Pendidikannya kemudian berlanjut pada Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo. Studi Pendidikan Islam menjadi program yang dipilih untuk menempuh S2-nya, dan lagi-lagi mendapat predikat camlaude serta menjadi mahasiswa terbaik dengan kurun waktu perkuliahan hanya satu setengah tahun. Saat ini Rikza sedang menempuh S3-nya di Program Doktor UIN Walisongo semarang dengan konsentrasi Islamic Studies.
Sejak memasuki bangku pendidikan Rikza sudah aktif dalam dunia organisasi, seperti OSIS, BANTARA, Kader Disipliner Nasional Kodim, PKS Bhayangkara Polres Kudus, Forum Komuniasi Antar Pelajar (FKAP), LPM Edukasi Fakultas Tarbiyah, SKM Amanat Walisongo, PMII dan masih banyak lagi. Selain itu ia juga aktif menulis. Berbagai tulisannya sudah sering dimuat oleh berbagai media cetak misalnya Harian Suara Merdeka, Harian Solo Pos, Radar Kudus, Radar Semarang, Majalah al-Mihrab dan lain-lain. Sampai saat ini Rikza masih aktif dalam dunia tulis menulis meskipun ia telah berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang. Bahkan beberapa karya yang kini sudah dapat dinikmati oleh berbagai kalangan antara lain: Pendidikan Sufistik (Disertasi Program S2-nya), Kyai Tanpa Pesantren, Studi Ulama Kabupaten Kudus (2011), Studi Minat Madrasah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Kalimantan Barat (pembahas, 2012) dan masih banyak yang lainnya.
Tepat pada hari minggu, 12 September 2004, Rikza mempersunting wanita cantik yang tak lain adalah teman kuliahnya, Yolha Ulfana adalah wanita yang kini menjadi ibu dari kedua putranya, yaitu Iqlima Naqiyya dan M. Ijlal Azamy. Hidup dengan lika-liku hingga Rikza dapat menjalani hidup yang seperti saat ini adalah buah dari kesabaran dan keuletan yang telah dimilikinya sejak kecil. Bahkan ia selalu memegang teguh prinsip hidupnya, yakni “bahwa orang hidup itu yang penting harus mengalir, apa yang dimiliki dijalani, hidup apa adanya dan tanpa pamrih”. 

0 komentar:

Posting Komentar