LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN KURIKULUM
Dalam membahas langkah-langkah
pengembangan kurikulum kita harus membuat distinksi antara langkah-langkah
pengembangan kurikulum makrokospis dan langkah-langkah pengembangan kurikulum
mikrokospis. Pada yang pertama kita mengidentifikasi faktor-faktor pengaruh
dari segi historis, sosiologis, filosofis, psikologis dan ‘scientific’ trhadap
kurikulum dalam arti makro, luas, umum. Pada yang terakhir kita berusaha
menterjemhkan pengembangan kurikulum makrokospis ke dalam desain kurikulum
(kurikulum mikrokospis), sebab bagaimananpun juga pengembangan kurikulum tak
berarti tanpa realisasinya dalam desain kurikulum. Desain kurikulum inilah yang
dilaksanakan di sekolah-sekolah. Sangat tepat penegasan Alexander dan Saylor:
“It is one of the most privotal concers in the whole area of “Curriculum
Planning” (p.245). Kita dapat memperluasnya, desain kurikulum bukan hanya
merupakan proses perencanaan kurikulum,tapi juga proses pengembangan kurikulum.
[1]
1.
Desain
Menurut Saylor dan Alexander,
Desain kurikulum merupakan pola (Pattern) atau kerangka (framework) atau
organisasi struktural (structural organization) yang dipakai dalam menyeleksi,
merencanakan, dan mengajukan pengalaman – pengalaman pendidikan di sekolah.
Beberapa penulis menyebut desain kurikulum dengan istilah seleksi kurikulum,bentuk,pola,
atau organisasi kurikulum,dan sebagainya.
Curriculum Design sangat menentukan hasil-hasil pendidikan yang
hendak dicapai. Suatu bentuk kurikulum dapat menghalangi tercapainya tujuan dan
kegiatan apa yang akan diberikan kepada anak.
Kita dapat mengorganisir pengalaman – pengalaman pendidikan siswa
di sebuah sekolah dalam pola yang telah dikenal seperti organisasi subyek
(subject organization), atau mengorganisnya berdasarkan kehidupan sosial (mayor
areas of social living),atau berdasarkan kebutuhan dan minat siswa (the needs
and interest of pupils as a basis for selecting and developing experience and
thus have a problem type of organization). [2]
Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau
komponen kurikulum. Peyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi,
yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan
penyusunan dari lingkup isi kurikulum yang sering diintegrasikan dengan proses
belajar dan mengajarnya. Dimensi vertikal menangkut penyusunan sekuens bahan
berdasarkan urutan tingkat kesukaran mulai yang mudah menuju yang lebih sulit.[3]
Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus pengajaran dikenal tiga
pola desain kurikulum, yaitu:
a.
Subject Central Design
Merupakan bentuk desain
yang paling tua dan populer. Dalam pola ini kurikulum dipusatkan pada isi atau
materi yang akan diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata pelajaran
yang diajarkan secara terpisah-pisah. Pola ini juga menekankan pada
pengetahuan, nilai-nilai, dan warisan budaya masa lalu, serta berupaya untuk
mewarikannya kepada generasi berikutnya.
b.
Learner-Centered Design
Merupakan bentuk desain
yang memberi tempa utama kepad peserta didik. Di dalam pendidikan atau
pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik sendiri. Guru atau
pendidik hanya berperan menciptakan situasi belajar mengajar, mendorong, dan
memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhn peserta didik.
c.
Problem Centered Design
Merupakan bentuk desain yang menekankan pada isi dan perkembangan
peserta didik. Pekembangan peserta didiknya ditekankan dalam kesatuan kelompok
yang menghadapi masalah dan dipecahkan secara bersama-sama. Sedangkan isi
kurikulumnya berupa masalah-masalah yang dihadapi peserta didik sekarang dan
yang akan datang.[4]
2.
Implementasi
Implementasi kurikulum berarti menempatkan
kurikulum sebagai acuan proses pembelajaran dan untuk memprediksi hasil pembelajaran.
Implementasi kurikulum berlangsung dalam kurun waktu terjadinya interaksi
antara sistem kurikulum dan sistem instruksional. Pada titik ini kurikulum
menjadi acuan kerja bagi para guru dalam mengembangkan strategi instruksional
yang berrti pula saat pesan-pesan dari perencana kurikulum dikomunikasikan dan
diinterpretasikan untuk para siswa.
Pada tingkat
sekolah, diantara para guru yang terlibat dalam implementasi kurikulum itu
perlu kesepakatan yang mengikat dalam menetapkan arah kegiatan dan sinkronisasi
tahap-tahap pencapaian sasaran – sasaran pembelajaran. Penilaian atas perubahan
perilaku siswa tidak mungkin diselenggarakan sebelum proses pembelajaran
berlangsung, walaupun perencanaan strategi pembelajaran merupakan kepanjangan
dari strategi kurikulum (planned curriculum strategies). Kedua strategi ini diarahkan
untuk mencapai hasil pembelajaran yang
diharapkan melalui proses pembelajaran. Namun dalam praktik keadaan bisa jauh
berbeda dari apa yang diuraikan diatas. Kurikulum yang telah direncanakan tidak
diimplementasikan secara sistematik, bahkan dalam kurun waktu yang tidak
terlalu lama berkas kurikulum hanya sebagai hiasan lemari buku belaka,
sementara para guru cenderung kembali pada pola pembelajaran lama.[5]
Setelah
sekolah-sekolah dan masyarakat umumnya responsif, kurikulum baru segera
dterapkan di skolah-sekolah .Tentu saja pertama-tama guru-guru harus
dipersiapkan baik melalui progam pendidikan guru,penataran guru, pembinaan pada
centre guru, dan sebagainya.
3.
Evaluasi
Evaluasi
merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus untuk mengetahui
proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Evaluasi kurikulum juga merupakan bagian dari keseluruhan sistem
penilaian persekolahan yang menjadi bagian dari sistem kurikulum serta tunduk
pada proses rekayasa kurikulum,yakni: (a) evaluasi atas penggunaan kurikulum
oleh guru; (b) evaluasi atas desain kurikulum; (c) evaluasi atas hasil
pembelajaran siswa; dan (d) evaluasi atas sistem kurikulum.
Evaluasi atas
pengunaan kurikulum oleh guru sudah
selayaknya menjadi langkah pertama dalam evaluasi kurikulum. Namun langkah ini
secara umum sering diabaikan. Cara yang sederhana untuk mengumpulkan data
penggunaan kurikulum oleh guru adalah mellui observasi kelas dan mengkaji
catatan pengembangan strategi pembelajaran untuk mengetahui apakah strategi itu
benar-benar dikembangkan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Apabila ternyata
guru tidak mengajar berdasarkan kurikulum yang berlaku, maka evaluasi berakhir
pada titik ini karena setiap evaluasi yang dilakukan pada kondisi ini tidak
dapat dinyatakan sebagai evaluasi kurikulum. Berbagai alasan mengapa guru
mengajar tanpa mengacu pada kurikulum yang berlaku; guru tidak dapat
meninggalkan buku teks yang telah digunakan bertahun-tahun; atau guru
menganggap kurikulum yang berlaku tidak sesuai.
a.
Evaluasi model penelitian
Model
evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan atas teori dan
metode tes psikologis serta experimen lapangan. Tes psikologis pada umumnya
mempunyai dua bentuk, yaitu tes intellegency yang ditujukan untuk mengukur
kemampua bawaan serta tes hasil belajar yang mengukur perilaku skolastik.
Sedangkan
penggunaan experimen lapangan adalah dengan mengadakan pembandingan antara dua
macam kelompok anak. Misalnya yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda.
b. Evaluasi model objektif
Dalam model ini para evaluator mempunyai peranan menghimpun pendapat pendapat
orang luar tentang inovasi kurikulum yang dilaksanakan. Kurikulum tidak dibandingkan
dengan kurikulum lain, tetapi diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus).
Para pengembang kurikulum yang menggunakan system instruksional (model objektif)
menggunakan standar pencapaian tujuan tujuan tersebut. Ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif:[7]
1) Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum.
2) Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan
siswa.
3) Menyusun materi kurikulum sesuai dengantujuan
tersebut.
4) Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan
hasil yang diinginkan.
c. Model campuran multivariasi.
Merupakan strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan,
yaitu pendekatan model perbandingan, model Tylor, dan bloom. Strategi ini memungkinkan
pembandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak keberhasilan tiap kurikulum
diukur berdasarkan criteria khusus dari masing-masing kurikulum. Model campuran
digunakan untuk mengevaluasi baik kurikulum yang menekankan pada isi, tujuan,
maupun situasi.[8]
Selain model, di dalam evaluasi kurikulum juga
terdapat tiga peranan penting evaluasi, yaitu:
a. Evaluasi sebagai moral judgement,
Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari suatu evaluasi
berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya. Hal ini mengandung
dua pengertian. Pertama, evaluasi berisi suatu skala nilai moral dan berdasarkan
skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai. Kedua, evaluasi berisi suatu
perangkat criteria praktis dan berdasarkan criteria tersebut suatu hasil dapat dinilai.
b. Evaluasi dan penentuan keputusan
Setiap orang mempunyai hak dalam menentukan keputusan, seperti guru,
siswa, orang tua, kepala sekolah dan sebagainya. Pada prinsipnya setiap individu
tersebut berhak untuk membuat keputusan sesuai dengan posisinya. Besar atau kecilnya
peranan keputusan yang diambil oleh seseorang sesuai dengan lingkup tanggungjawabnya
serta lingkup masalah yang dihadapinya pada suatusaat.
c. Evaluasidankonsensusnilai
Secara historis consensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal dari tradisites
mental serta eksperimen. Consensus tersebut berupa kerangka kerja penelitian,
yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar yang
bersifat behavioral, penggunaan analisis statistic dari pre-test dan post-test
dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar