ASHHABUL HANAFIY
SEJARAH IBN ABI LAILA
I. PENDAHULUAN
Islam memiliki suatu hukum yang berasal dari hasil
interpretasi kandungan Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang bisa disebut hukum islam. Pada
periode formatifnya, hukum islam memiliki watak yang sangat adaptif, elektis
dan dinamis, terutama terhadap perkembangan situasi dan kondisi masyarakat yang
berkembang pada saat itu.
Dari itu, dapat diketahui bahwa hukum islam menjadi
hal yang perlu dikaji. Pengkajian tersebut selain mengetahui hukum tentang
suatu hal, juga untuk mengetahui pemikiran-pemikiran tentang hukum dan siapa
yang mengemukakannya.
Memahami seorang tokoh berarti juga memahami seluk
beluk informasi yang detail mengenai latar belakang tokoh, baik setting
sosial-budaya, politik, ataupun metode apa yang digunakan oleh seorang tokoh. Dalam
makalah ini seorang tokoh yang akan dibahas adalah Ibn Aby Laila.
II. RUMUSAN
MASALAH
Dari
pendahuluan di atas dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain:
- Bagaimana sejarah Ibn Abi Laila?
- Bagaimana setting Sosial Budaya Pada Masa Ibn Abi Laila?
- Bagaimana setting politik pada Masa Ibn Abi Laila?
- Bagaimana wacana keilmuan pada Masa Ibn Abi Laila?
- Apa metode istinbat yang dipakai?
III. PEMBAHASAN
- Sejarah Ibn Abi Laila (74-148 H)
Beliau lahir di kuffah pada tahun 74 H. Nama beliau
adalah Muhammad bin Abd al Rahman bin Laili bin Bilal al Ansari al Kufi, akan
tetapi lebih terkenal dengan nama Ibn Abi Laila. Beliau meninggal dunia di
kuffah pada tahun 148 H selagi masih dalam jabatannya sebagai hakim. Beliau
adalah salah seorang ulama terbesar dizamannya, seorang faqih dan mufti, serta
termasuk pendukung ahlu Ra’yu.
Beliau dikenal sebagai seorang mujtahid aliran
rasional dan menjabat sebagai seorang hakim di Kuffah selama 33 tahun, yaitu
pada sebagian masa dinasti Umayyah dan sebagian lagi pada masa dinasti
Abbasiyah.
Diantara murid-murid beliau yang terkenal antara
lain: Sufyan ast Saury, Imam Abu Yusuf dan lain-lain. Imam Abu Yusuf yang
kemudian belajar pada imam Abu Hanifah menulis tentang pemikiran Ibn Abi Laila
dan perbedaannya dengan Imam Abu Hanifah, dalam kitab yang berjudul Ikhtilaf
Ibnu Hanifa Wa Ibn Abi Laila.
كتاب اختلاف ابي
حنيفة و ابن ابي ليلى : و قد جمع في هذا الكتاب المسائل التي اختلف فيها ابو حنيفة
مع ابن ابي ليلى, و في جملتها كان ينتصر لابي حنيفة[1]
“Kitab
Ikhtilaf Ibnu Hanifa Wa Ibn Abi Laila : telah dikumpulkan di dalam kitab ini perbedaan
pendapat tentang beberapa persoalan antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila, dan
sebagian besar dimenangkan oleh Abu Hanifah”.
Adapun perbedaan pendapat keduanya
dalam kitab ini dikelompokkan menjadi 35 bab, diantaranya membahas tentang
sholat, zakat, puasa, haji, hutang piutang, shodaqoh dan hibah, wasiat, mawaris,
ghasab, muzaro’ah, mudhorobah dan lain-lain.
Diantara perbedaan pendapat abu
hanifah dan abi laila mengenai sholat yaitu:
“Berkata Abu Yusuf r.a: ‘ketika
seorang laki-laki sholat pada hari tasyrik dan salah satu diantaranya juga ada
wanita, kemudian Abu Hanifah r.a berkata: ‘jangan bertakbir atasnya (laki-laki
itu) dan jangan bertakbir kepada sesorang yang sholat berjamaah selain di
Mesir dan jangan bertakbir kepada
musafir.’ Dan Abi Laila berkata: ‘bertakbirlah kepada mereka.’ Abu Yusuf
mengabarkan kepada kita dari ‘Abidah dari Ibrahim sesungguhnya berkata: ‘bertakbirlah
kepada musafir, kepada orang yang muqim, kepada salah seorang yang sholat
berjama’ah dan kepada perempuan. Dan dengan ini kita mengambilnya’.”[2]
Sedangkan perbedaan
pendapat mengenai zakat misalnya:
“Dari Abu yusuf r.a berkata: ‘ jika ada hutang atas seseorang
seribu dirham, dan untuk orang itu orang lain berhutang seribu dirham, kemudian
ditangannya seribu dirham, maka abu hanifah r.a berkata: ‘tidak wajib orang
tersebut zakat atas seribu dirham yang ditangannya sampai keluar dari hutang
sehingga dia berzakat.’ Dan berkata ibnu abi laila: ‘wajib untuk orang tersebut
zakat atas seribu dirham yang ada di tangannya’.”[3]
Dan
perbedan pendapat tentang puasa misalnya
“Berkata abu yusuf r.a: ‘ketika sesorang berpuasa satu hari
dari bulan ramadhan dan orang itu ragu tentang sesungguhya hari itu dari bulan
ramadhan, kemudian dia mengetahui setelah itu bahwa hari itu dari bulan
ramadhan, maka abu hanifah r.a berkata: ‘pahala atasnya dan dengan ini kita
mengambil’. Sedangkan abi laila berkata: ‘tidak ada pahala, dan wajib atasnya
mengganti pada hari yang lain’.”[4]
- Setting Sosial Budaya Pada Masa Ibn Abi Laila
Kuffah sempat memegang peranan penting pada
masa pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin. Khalifah Ali bin Abi Thalib sempat
memindahkan ibu kota pemerintahan islam dari madinah ke kota ini. Selain itu,
Kuffah pun sempat menjadi pusat gerakan ilmiyah islam yang telah melahirkan
sejumlah ulama dan ilmuan islam terkemuka. Kota yang terletak 10 Km ditimur
laut kota Najaf itu tergolong kota tua. Awalnya, wilayah itu didiami bangsa
Mesopotamia. Ketika kerajaan Sassanid berkuasa di Kuffah merupakan bagian dari
provinsi Suristan. Kuffah ditaklukkan oleh umat islam pada tahun 637 di era
kepemimpinan Kholifah Umar bin Khattab. Bendera islam mulai berkibar di Kuffah
ketika pasukan tentara muslim yang dipimpin panglimanya Sa’ad bin Abi Waqqas
berhasil mengalahkan kerajaan romawi dan bizantium dalam perang yarmuk pada 636
M. Setahun kemudian, Irak jatuh pada tentara Muslim. Kota pertama yang dibangun
tentara muslim adalah Kuffah dan Basra.[5]
Pada awalnya Kuffah hanyalah kota yang menjadi
barak-barak militer islam. Kota itu menjadi pilihan lantaran bangsa arab lebih
suka tinggal di padang pasir terbuka, karena mereka lebih suka mengembala
ternak yang mereka miliki. Wilayah yang berada ditepi barat sungai Euferatitu
menjadi pilihan sebagai tempat pemukiman. Atas persetujuan kholifah Umar bin
Khotob, Sa’ad memindahkan pusat kekuasaan islam di Persia ke Kuffah pada awal
638 M. Setelah Kuffah tumbuh dan berkembang banyak diantara para Sahabat
Rosul yang hijrah dan bermukim di kota itu. Beberapa Sahabat Nabi tersebut
antara lain Abu Musa, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ammar Ibnu
Yasir, serta Huzayfa Ibnu Yaman. Dalam perjalanannya Kuffah menjadi pusat
perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu agama islam.
Pada era tersebut Kuffah juga menjadi pusat
penafsiran Al-Qur’an dengan Abdullah bin Mas’ud yang mengajarkan tafsir serta
Hadist kepada masyarakat kota Kuffah. Pada abad ke-9 Yahya Ibnu Abd Al-Hamid
Al-Himmani mengumpulkan hadist dalam sebuah musnad. Saat kekholifahan Umayyah
berkuasa, Kuffah bersaing dengan kota Damaskus yang menjadi pusat pemerintahan
dinasti itu.
Setelah dinasti Umayyah digulingkan Abbasiyyah,
Kuffah tidak menjadi pusat pemerintahan. Penguasa Abasiyyah lebih memilih
membangun kota Baghdad. Alasannya Kuffah menjadi pusat kekuatan Syiah. Kuffah
juga menjadi pusat gerakan ilmiyah yang besar, sederet ulama lahir di Kuffah.
Gerakan ilmiyah itu terus berkembang dan melahirkan Imam Abu Hanifah (80-150 H)
. Di masjid Kuffah Kholifah pertama Abbasiyah dilantik untuk yang pertama
kalinya.
- Setting Politik Pada Masa Ibn Abi Laila
Ibn Abi Laila berkata: “Saya tidak suka membantah
sahabatku, ada kalanya saya mendustakannya dan adakalanya saya memarahinya”. Pada
waktu itu kota Kuffah merupakan pusat pertemuan ulama Fiqh yang cenderung
rasional, sehingga ia pun menekuninya. Di kota ini terdapat madrasah yang
dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud (wafat 63 H / 682 H). Kemudian berlanjut
dibawah kepemimpinan Ibrahim al-Nakha’i lalu Hammad bin Sulaiman al- Asy’ari (wafat
120) dan dari imam Hammad inilah Imam Abu Hanifah belajar Fiqh dan Hadist. Imam
Hammad sering mewakilkan pada beliau dalam mengajarkan agama dan memberi fatwa.
Kepercayaan ini diberikan karena keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam
mengupas masalah fiqh.
- Wacana Keilmuan pada Masa Ibn Abi Laila (74-148 H)
Ibn Abi Laila dikenal sebagai seorang mujtahid
aliran rasional, dan hakim di Kuffah selama 33 tahun, sebagian pada masa
dinasti Umayyah dan sisanya pada masa dinasti Abbasiyah. Al Sauri mengatakan:
“Ahli fiqh kita adalah Abi Laila dan Syubrumah.”
Ia sangat egois dengan pendapat dan fatwanya.
Pikiran-pikirannya selalu ingin dilaksanakannya dengan tanpa ragu-ragu, bahkan
tanpa memperdulikan pendapat orang lain, manakala ia telah merasa yakin bahwa pendapatnya
adalah benar. Lebih jauh, bila perlu ia mencari dukungan pemerintah agar
mau melarang pendapat lawannya. Pemerintah sendiri biasanya memenuhinya, karena
pertimbangan kelebihan yang dimiliki dan keilmuannya.
Pada suatu hari, dalam perjalanan pulang dari
kantor, ia mendengar umpatan seorang perempuan terhadap seorang laki-laki:” Hai
anak para pelacur.”. sesudah itu ia memerintahkan untuk menagkap perempuan
tersebut. Ia kembali ke pengadilan untuk menyidang perempuan tersebut dan dalam
keputusannya ia menyatakan bahwa perempuan tersebut bersalah dan menghukumnya
dengan dua kali hukuman. Pelaksanaan hukuman diselenggarakan di masjid dan
memerintahkan terdakwa berdiri.
Peristiwa ini sampai ke telinga Abu Hanifah (80-150
H/699-767 M). Kemudian beliau berkomentar:” Hakim itu telah melakukan beberapa
kesalahan. Pertama, ia kembali ke pengadilan padahal tugasnya telah selesai.
Kedua, pelaksanaanya dimasjid, padahal Rasulullah Saw. melarangnya. Ketiga,
menghukum sambil berdiri, padahal seharusnya menghukumnya sambil duduk.
Keempat, menghukumnya dua kali, padahal tuduhan atas sejumlah orang dengan satu
ucapan haruslah satu kali saja. Kelima, kalaupun harus dua kali, maka kedua
antara hukuman tadi harus ada jarak waktu sampai luka atas hukuman pertama
telah sembuh. Keenam, hukuman dilakukan padahal tanpa adanya tuntutan dari
pihak korban.”
Ketika
kritik Abu Hanifah ini sampai pada telinga Ibn Abi Laila, ia segara menulis
surat pengaduan kepada penguasa Kuffah. Ia meminta pemerintah agar menghukum
Abu Hanifah dan melarangnya berfatwa. Pemerintah memenuhi tuntutannya akan
tetapi Abu Hanifah menolaknya.[6]
- Metode Istinbat yang Dipakai Ibn Abi Laila
Sifat cara berfikir Ibn Abi Laila memperlihatkan
corak formalitas yang agak kaku, yang mana pertimbangan praktis corak berfikir,
khususnya pertimbangan yang bersifat teknis masih banyak dipergunakan.[7]
beliau adalah orang yang berfatwa dengan ra’yu dengan menggunakan qiyas dan
istihsan. sebelum Imam Abu Hanifah meriwayatkan bahwasannya Abu Laila berkata
tidak ada zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil kuat yang menjelaskan
wajibnya zakat madu. Dari sana kita mengetahui metode pendekatan yang dilakukan
oleh Abu Laila adalah dengan cara Ishtishab yaitu al-Bara’ah al-Ashliyah (pada
asalnya tidak ada hukum) dalam menetapkan suatu hukum maka selama tidak ada
dalil shahih yang menerangkan wajibnya zakat maka pada madu itu maka tetap
tidak ada wajib zakat.
IV. KESIMPULAN
Beliau
lahir di kuffah pada tahun 74 H. Nama beliau adalah Muhammad bin Abd al Rahman
bin Laili bin Bilal al Ansari al Kufi, akan tetapi lebih terkenal dengan nama
Ibn Abi Laila. Beliau meninggal dunia di kuffah pada tahun 148 H selagi masih
dalam jabatannya sebagai hakim. Ibn Abi Laila dikenal sebagai seorang mujtahid
aliran rasional, dan hakim di Kuffah selama 33 tahun, sebagian pada masa
dinasti Umayyah dan sisanya pada masa dinasti Abbasiyah. Seperti kebanyakan
sahabat Hanafi metode yang digunakan diantaranya qiyas dan istihsan.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami presentasikan,
apa bila ada kesalahan penulis mohon maaf. Kritik dan saran sangat dibutuhkan
penulis untuk pembangun penulis menjadikan lebih baik. Sifat sempurna hanyalah
milik Allah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
[1]محمد
إبراهيم ال حفناوي, مصطلحات الفقهاء والاصوليين, (القاهرة, دار السلام:
2009), رقم. 35
[3]ابى يوسف يعقوب, اختلاف ابى حنيفة وابن ابى
ليلى, (مصر,مطبعة الوفاء:1357) , رقم.122
[5] TM Hasby Ashiddieqy, Pengantar Hukum Islam,(Semarang:PT
Pustaka Rizki Putra, 2002), Hal.85
[6] Mustofa,
Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah (Jogjakarta: LKPSM, 2001),
hlm.71-72
[7] Joseph Schacht, Pengantar
Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985), hlm. 60.
1 komentar:
mantap kak
Posting Komentar