MENARA KUDUS
SIMBOL INTERELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM
LAPORAN
KUNJUNGAN RANGGAWARSITA
Disusun guna memenuhi tugas UTS
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.
Oleh :
Lailin Uyun Munfaridah (133511052)
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
MENARA KUDUS
SIMBOL INTERELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM
Pada tanggal 22 november 2015,
penulis melakukan kunjungan studi ke Museum Ranggawarsita. Museum Ranggawarsita
merupakan salah satu pusat penyimpanan benda-benda bersejarah yang ada di Jawa
Tengah yang mencerminkan bagaimana kehidupan dan kebudayaan di daerah Jawa
Tengah pada zaman dahulu. Museum ini tepatnya berada di jalan Abdurrahman
Saleh. Memiliki empat
gedung utama yaitu gedung A, B, C dan D, menjadikan museum ini menampung banyak koleksi yang memiliki nilai
budaya, sejarah, keagamaan, pembangunan, perjuangan, seni daerah, adat
daerah, dan lain sebagainya. Diantara koleksi-koleksi yang ada di museum
tersebut, terdapat benda yang bukan merupakan wujud asli, melainkan hanya
replika, miniatur, atau diorama.
Berbicara tentang kebudayaan Jawa tengah tentu merupakan bagian kebudayaan
Jawa yang tidak lepas dari corak agama Hindu-budha pada masanya, yang kemudian
mengalami proses akulturasi setelah Islam mulai memasuki tanah Jawa. Untuk itu,
penulis akan mengulas salah satu benda peninggalan hasil akulturasi dari
kebudayaan Jawa dan Islam yang ada di museum Ranggawarsita. Benda tersebut
merupakan miniatur Menara Kudus yang aslinya berada di desa..
kabupaten Kudus Jawa Tengah.
Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan budaya Islam yang bercorak
Hindu-Budha. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada zaman dahulu terjadi
keselarasan antara budaya Islam yang terakhir datang dengan budaya setempat
sebelumnya, yakni budaya Jawa yang bercorak Hindu-Budha. Keselarasan tersebut
terjadi karena Sunan Kudus menyebarkan islam di Kudus dengan cara menyisipkan
nilai-nilai Islam pada budaya dan peninggalan Hindu-Budha yang lebih dulu sudah
ada.
Dibangun sekitar
tahun 1895 M, Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 m dengan bagian dasar
berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring
bergambar yang berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru
serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu,
12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara
terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati. Bangunan dan hiasannya menunjukkan
adanya hubungan dengan kesenian Jawa-Hindu karena bangunan Menara Kudus terdiri
dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi
pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan
menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya,
penggunaan material batu bata juga dipasang tanpa perekat semen. Selain itu,
teknik konstruksi tradisional Jawa bisa dilihat pada bagian kepala menara yang
berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru
sebagai penyangga yang menopang dua tumpuk atap tajug. Empat tiang
penyangga ini sama dengan ciri khas rumah orang-orang Jawa-Hindu yang setelah
diadopsi Islam memiliki makna Islam, iman, ihsan, dan ridha. Pada
bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka seperti pada puncak atap
tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang merujuk pada
unsur arsitektur Jawa-Hindu.
Sekilas Menara Kudus terlihat seperti
candi-candi yang merupakan peninggalan khas budaya Hindu-Budha. Hal ini
mengindikasikan bahwa menara Kudus ini adalah sebuah peninggalan yang
menyatakan peralihan dari nilai Hindu-Budha ke Islam. Di bagian atas menara
terdapat kentongan ataupun bedug, jika dalam candi Hindu-Budha adalah sebagai
sarana menyampaikan Informasi, sedangkan pada menara kudus ini adalah sebagai
sarana mengundang masyarakat Kudus untuk berjamaah (adzan) atau penunjuk waktu
shalat.
Demikian sekilas tentang Menara
Kudus yang dapat penulis paparkan dalam laporan kunjungan studi ke museum Ranggawarsita
ini. Semoga sedikit pemaparan tersebut dapat memberikan manfaat baik bagi
penulis maupun pembaca, sekaligus mengingatkan kembali
akan pentingnya menjaga toleransi antarumat beragama yang telah ada sejak lama.
Perbedaan agama bukanlah alasan untuk saling menonjolkan ajaran, menyombongkan
panutan. Namun, dengan agama yang berbeda kita malah justru harus bisa dipersatukan
dalam suasana indah dan damai.
0 komentar:
Posting Komentar