Senin, 28 Desember 2015

LAPORAN KUNJUNGAN RANGGAWARSITA

MENARA KUDUS SIMBOL INTERELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM
LAPORAN KUNJUNGAN RANGGAWARSITA
Disusun guna memenuhi tugas UTS
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.
Logo_uin_walisongo

Oleh :
Lailin Uyun Munfaridah (133511052)
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

MENARA KUDUS SIMBOL INTERELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM
Pada tanggal 22 november 2015, penulis melakukan kunjungan studi ke Museum Ranggawarsita. Museum Ranggawarsita merupakan salah satu pusat penyimpanan benda-benda bersejarah yang ada di Jawa Tengah yang mencerminkan bagaimana kehidupan dan kebudayaan di daerah Jawa Tengah pada zaman dahulu. Museum ini tepatnya berada di jalan Abdurrahman Saleh. Memiliki empat gedung utama yaitu gedung A, B, C dan D, menjadikan museum ini  menampung banyak koleksi yang memiliki nilai budaya, sejarah, keagamaan, pembangunan, perjuangan, seni daerah, adat daerah,  dan lain sebagainya. Diantara koleksi-koleksi yang ada di museum tersebut, terdapat benda yang bukan merupakan wujud asli, melainkan hanya replika, miniatur, atau diorama.
Berbicara tentang kebudayaan Jawa tengah tentu merupakan bagian kebudayaan Jawa yang tidak lepas dari corak agama Hindu-budha pada masanya, yang kemudian mengalami proses akulturasi setelah Islam mulai memasuki tanah Jawa. Untuk itu, penulis akan mengulas salah satu benda peninggalan hasil akulturasi dari kebudayaan Jawa dan Islam yang ada di museum Ranggawarsita. Benda tersebut merupakan miniatur Menara Kudus yang aslinya berada di desa.. kabupaten Kudus Jawa Tengah.
Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan budaya Islam yang bercorak Hindu-Budha. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada zaman dahulu terjadi keselarasan antara budaya Islam yang terakhir datang dengan budaya setempat sebelumnya, yakni budaya Jawa yang bercorak Hindu-Budha. Keselarasan tersebut terjadi karena Sunan Kudus menyebarkan islam di Kudus dengan cara menyisipkan nilai-nilai Islam pada budaya dan peninggalan Hindu-Budha yang lebih dulu sudah ada.
Dibangun sekitar tahun 1895 M, Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 m dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati. Bangunan dan hiasannya menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Jawa-Hindu karena bangunan Menara Kudus terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya, penggunaan material batu bata juga dipasang tanpa perekat semen. Selain itu, teknik konstruksi tradisional Jawa bisa dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru sebagai penyangga yang menopang dua tumpuk atap tajug. Empat tiang penyangga ini sama dengan ciri khas rumah orang-orang Jawa-Hindu yang setelah diadopsi Islam memiliki makna Islam, iman, ihsan, dan ridha. Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.
Sekilas Menara Kudus terlihat seperti candi-candi yang merupakan peninggalan khas budaya Hindu-Budha. Hal ini mengindikasikan bahwa menara Kudus ini adalah sebuah peninggalan yang menyatakan peralihan dari nilai Hindu-Budha ke Islam. Di bagian atas menara terdapat kentongan ataupun bedug, jika dalam candi Hindu-Budha adalah sebagai sarana menyampaikan Informasi, sedangkan pada menara kudus ini adalah sebagai sarana mengundang masyarakat Kudus untuk berjamaah (adzan) atau penunjuk waktu shalat.

Demikian sekilas tentang Menara Kudus yang dapat penulis paparkan dalam laporan kunjungan studi ke museum Ranggawarsita ini. Semoga sedikit pemaparan tersebut dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pembaca, sekaligus mengingatkan kembali akan pentingnya menjaga toleransi antarumat beragama yang telah ada sejak lama. Perbedaan agama bukanlah alasan untuk saling menonjolkan ajaran, menyombongkan panutan. Namun, dengan agama yang berbeda kita malah justru harus bisa dipersatukan dalam suasana indah dan damai.

0 komentar:

Posting Komentar